Suatu ketika, saya mewawancarai seorang pelamar. Kompetensinya memenuhi. Cara bicaranya jujur dan tulus. Tapi kuota sudah hampir penuh. Hati saya berat, tapi keputusan tetap harus disampaikan: maaf, Anda belum bisa kami terima.
Yang paling membekas bukan jawaban teknisnya. Tapi pengakuannya yang sederhana dan dalam: bahwa ia sangat membutuhkan pekerjaan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orangtuanya di kampung.
Ia menyampaikan itu tanpa air mata, tanpa mengiba, tapi dengan keberanian yang justru membuat saya terdiam lebih lama dari biasanya.
Sebagai HRD, saya tahu, saya tak bisa menjanjikan apa-apa. Saya juga tahu, empati tak selalu bisa ditunjukkan di ruang wawancara. Tapi hati saya belum tenang bahkan setelah proses itu selesai.
Beberapa hari kemudian, saya menelepon seorang teman, sesama HRD di perusahaan lain.
Saya hanya bertanya, "Kalian lagi butuh orang nggak?" Lalu saya ceritakan tentang pelamar itu. Bukan cuma soal kemampuannya, tapi juga tentang ketulusan dan semangatnya.
Dan ternyata, beberapa hari setelah itu, teman saya menelepon si pelamar. Dan tak lama setelahnya, ia diterima.
Bukan di tempat saya, tapi di tempat yang tetap membukakan pintu. Dan saya tersenyum diam-diam, bersyukur bahwa sedikit usaha bisa membawa harapan besar bagi seseorang.
Hari itu saya belajar sesuatu: HRD idaman kandidat bukan selalu yang bisa menerima, tapi yang tetap memberi ruang bagi harapan. Yang diam-diam membantu, meski tak selalu terlihat. Yang tahu bahwa di balik CV dan jawaban wawancara, ada manusia yang sedang berjuang.
Kadang, kita tak bisa bilang "ya". Tapi kita tetap bisa bilang dalam hati: "Saya melihatmu. Saya menghargaimu. Dan saya akan mencoba menolong, semampu saya."